Friday, May 31, 2013

Keuntungan Ruang Terbuka Hijau terhadap Komponen Ekosistem

Yogyakarta, Indonesia
   Dalam sebuah pembangunan era global, sebuah ekosistem di kesampingkan demi kemajuan negera atas pembangunan gedung-gedung pencakar langit sebagai tempat usaha, perluasan jalan dan penambahan lahan kosong sebagai tempat tinggal. Segala yang ada saat ini merupakan sebuah kenikmatan dimana manusia sedang memerlukan sebuah materi ataupun beda yang benar-benar bisa di jangkau dengan mudah tanpa adanya proses. Untuk mengembalikan semua hal yang sudah diambil dari alam, manusia tidak bersabar untuk menunggunya sampai kembali seperti semula dan hanya membiarkannya. Sudah sewajarnya, apabila gangguan ini dibuat oleh manusia sendiri maka pemulihan keseimbangan sistem lingkungan hidup harus pula diusahakan manusia. Walaupun, manusia tidak bisa dipisahkan dari sebuah pembangunan dalam sebuah tuntutan mengamati perkembangan dunia luar. Tanpa adanya ekosistem manusia juga tidak bisa hidup untuk mengurus semua pembangunan yang dirancang. Sehingga timbul gangguan pada kesetimbangan lingkungan hidup.
   Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Ruang terbuka menciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualis-asosial. Agar efektif sebagai mimbar, ruang publik haruslah netral. Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke ruang publik sebagai sebuah mimbar politik. Stephen Carr dalam bukunya Public Space, ruang publik harus bersifat responsif, demokratis, dan  bermakna. Ruang publik yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan  kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang publik itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya.  Bahkan, unsur demokratis dilekatkan sebagai salah satu watak ruang publik karena ia harus dapat  dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai kondisi fisiknya, termasuk para penderita cacat tubuh  maupun lansia.
   Ruang-ruang terbuka  ditinjau dari bentuk fisiknya dapat rupa Ruang Terbuka Hijau dan/atau Ruang Terbuka Binaan (Publik atau Privat). Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika. Ruang terbuka hijau dengan komponen penyusun utamanya berupa vegetasi mampu mencegah menjalarnya luapan api kebakaran secara efektif, dikarenakan vegetasi mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya.
   Pengertian dan Komponen Ekosistem adalah Ekosistem dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik atau interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Selain itu ekosistem merupakan tingkatan organisasi kehidupan yang mencakup organisme dan lingkungan tak hidup, dimana kedua komponen tersebut saling mempengaruhi dan berinteraksi. Komponen penyusun ekosistem terdiri atas dua macam, yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik adalah komponen yang terdiri atas makhluk hidup, sedangkan komponen abiotik adalah komponen yang terdiri atas benda mati. Seluruh komponen biotik dalam suatu ekosistem membentuk komunitas. Dengan demikian, ekosistem dapat diartikan sebagai kesatuan antara komunitas dengan lingkungan abiotiknya.
Pengertian Ruang Terbuka Hijau adalah ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya (Hakim dan Utomo, 2004).
Ruang Terbuka Hijau kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut (Dep. Pekerjaan Umum, 2008).
   Perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau tersebut merupakan komponen alam, yang berperan menjaga keberlanjutan proses di dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang terbuka hijau dipandang memiliki daya dukung terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%. Ruang terbuka hijau berguna bagi kehidupan manusia dalam peningkatan kadar oksigen bumi dan keberlangsungan hewan-hewan yang hidup di perkotaan karena lahan yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau dijadikan gedung pencakar langit tanpa adanya ruang penyeimbang. Permasalahan yang terjadi tanpa adanya ruang terbuka hijau berpengaruh terhadap komponen ekosistem yaitu komponen abiotik dan biotik.

Komponen Abiotik
Berdasarkan caranya memperoleh makanan di dalam ekosistem, organisme anggota komponen biotik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Produsen, yang berarti penghasil. 
  Produsen merupakan organisme yang mampu menghasilkan zat makanan sendiri (autotrof) melalui fotosintesis. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah tumbuhan hijau. Dalam penataan ruang terbuka hijau, akan banyak tumbuhan hijau sebagai makanan dari organisme yang tidak menghasilkan makanan (heterotrof) berarti kelangsungan konsumen I dapat di terselamatkan apabila produsen masih tetap ada.
b. Konsumen, yang berarti pemakai, yaitu organisme yang tidak dapat menghasilkan zat makanan sendiri tetapi menggunakan zat makanan yang dibuat oleh organisme lain. 
   Organisme yang secara langsung mengambil zat makanan dari tumbuhan hijau adalah herbivora. Oleh karena itu, herbivora sering disebut konsumen tingkat pertama. Karnivora yang mendapatkann makanan dengan memangsa herbivora disebut konsumen tingkat kedua. Karnivora yang memangsa konsumen tingkat kedua disebut konsumen tingkat ketiga dan seterusnya. Proses makan dan dimakan di dalam ekosistem akan membentuk rantai makanan. 
   Perhatikan contoh sebuah rantai makanan ini: daun berwarna hijau (Produsen) –> ulat (Konsumen I) –> ayam (Konsumen II) –> musang (Konsumen III) –> macan (Konsumen IV/Puncak).
Dalam ekosistem, sebuah rantai makanan akan terus berjalan selama para pelaku rantai makanan masih tetap ada, apabila salah satu populasi dari mereka tidak ada maka keseimbangan ekosistem terancam, seperti, tanpa adanya elang maka tikus akan bergerilya merusak padi, bayangkan bila elang musnah ataupun spesies sejenisnya musnah maka kerusakan padi akan meningkat.
c. Dekomposer atau pengurai. 
   Dekomposer adalah jasad renik yang berperan menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme yang telah mati ataupun hasil pembuangan sisa pencernaan. Dengan adanya tanah maka organisme pengurai mampu mengurai jazad renik untuk di teruskan kepada tumbuhan dalam gas karbon dioksida untuk proses fotosintesis, apabila tanah sudah habis dipakai dalam pembangunan maka jazad renik yang ada tidak akan menyerap, tidak akan terbagi kepada tumbuhan dan produsen pertama akan musnah.

Komponen abiotik merupakan komponen tak hidup dalam suatu ekosistem. Komponen abiotik sangat menentukan jenis makhluk hidup yang menghuni suatu lingkungan. Komponen abiotik banyak ragamnya, antara lain: 
a. Suhu
   Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu dan kini dikarenakan adanya pemanasan global, maka tidak dipungkiri beberapa spesies tumbuhan mati karena tidak mampu beradaptasi. Ruang terbuka hijau sudah seharusnya di tempatkan dengan tumbuhan yang mampu menyeimbangkan panas bumi dengan gas O2.
b.Sinar matahari
   Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari menentukan suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai produsen untuk berfotosintesis. Sinar matahari yang masuk diserap oleh tumbuhan untuk membantu fotosintesis, apabila sinar matahari yang masuk terhalang oleh gedung pencakar langit maka yang ada hanya pantulan dari benda dan permukaan di dalam rumah kaca yaitu berupa sinar inframerah dan tertahan atap kaca yang mengakibatkan udara di dalam rumah kaca menjadi hangat walaupun udara di luar dingin. Efek memanaskan itulah yang disebut efek rumah kaca atau ”green house effect”. Gas-gas yang berfungsi bagaikan pada rumah kaca disebut gas rumah kaca atau ”green house gases”.
c. Air
   Air berpengaruh terhadap ekosistem karena air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme. Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan, perkecambahan, dan penyebaran biji; bagi hewan dan manusia. Bagi unsur abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air diperlukan sebagai pelarut dan pelapuk. Tanpa ada aliran air yang berfungsi dalam sebuah fotosintesis dikarenakan tersendat masuk dari lapisan tanah yang disemen. Penampungan air dalam ruang hijau terbuka terdengar bagus sebagai penyerap air hujan dalam sebuah sistem tatakota.
d. Tanah
   Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan. Tanah yang disemen tak hayal menjadi permasalahan dalam ekosistem, daya serap, pertumbuhan menjadi rusak. Sewajarnya, disisakan dari setiap wilayah 30% sebagai ruang terbuka hijau.
e. Angin
   Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu namun akibat semakin menjamurnya bangunan tinggi mengakibatkan konsentrasi angin hanya ke titik-titik tertentu. 
Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) terdiri dari Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) Dan Ruang Terbuka  Hijau Binaan (RTH Binaan).
·         Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya. Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau, dsbnya.
·         Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman. Kawasan/ruang  hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi  udara dan perlindungan terhadap flora

Pendekatan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Fungsinya
Pendekatan ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh ruang terbuka hijau terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan, atau dalam upaya mempertahankan kualitas yang baik.
a. Daya Dukung Ekosistem 
   Perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau tersebut merupakan komponen alam, yang berperan menjaga keberlanjutan proses di dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang terbuka hijau dipandang memiliki daya dukung terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%.
b.Pengendalian Gas Berbahaya dari Kendaraan Bermotor
   Gas-gas yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan bersifat menurunkan kesehatan manusia (dan makhluk hidup lainnya), tertama yang berbahaya sekali adalah dari golongan Nox, CO, dan SO2. Diharapkan ruang terbuka hijau mampu mengendalikan keganasan gas-gas berbahaya tersebut, meskipun ruang terbuka hijau sendiri dapat menjadi sasaran kerusakan oleh gas tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan adalah mengadakan dan mengatur susunan ruang terbuka hijau dengan komponen vegetasi di dalamnya yang mampu menjerat maupun menyerap gas-gas berbahaya. Penelitian yang telah dilakukan di Indonesia (oleh Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan keragaman kemampuan berbagai jenis pohon dan tanaman merambat dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menjerat dan menyerap gas-gas berbahaya tersebut. Perkiraan kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini tergantung pada jenis dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya.
Sifat dari vegetasi di dalam ruang terbuka hijau yang diunggulkan adalah kemampuannya melakukan aktifitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme  di dalam vegetasi dengan menyerap gas CO2, lalu membentuk gas oksigen. CO2 adalah jenis gas buangan kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya, sedangkan gas oksigen adalah gas yang diperlukan bagi kegiatan pernafasan manusia. Dengan demikian ruang terbuka hijau selain mampu mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sekaligus menambah suplai oksigen yang diperlukan manusia. Besarnya kebutuhan ruang terbuka hijau dalam mengendalikan gas karbon dioksida ini ditentukan berdasarkan target minimal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi gas karbon dioksida dari sejumlah kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di kawasan perkotaan tertentu.
c.Pengamanan Lingkungan Hidrologis
   Kemampuan vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat dijadikan alasan akan kebutuhan keberadaan ruang terbuka hijau tersebut. Dengan sistem perakaran yang baik, akan lebih menjamin kemampuan vegetasi mempertahankan keberadaan air tanah. Dengan semakin meningkatnya areal penutupan oleh bangunan dan perkerasan, akan mempersempit keberadaan dan ruang gerak sistem perakaran yang diharapkan, sehingga berakibat pada semakin terbatasnya ketersediaan air tanah.
Dengan semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan ketersediaan air  tanah, maka secara tidak langsung dapat mencegah  terjadinya peristiwa intrusi air laut ke dalam sistem hidrologis yang ada, yang dapat menyebabkan kerugian berupa penurunan kualitas air minum dan terjadinya korosi/ penggaraman pada benda-benda tertentu.
d.Pengendalian Suhu Udara Perkotaan
   Dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan. Dalam skala yang lebih luas lagi, ruang terbuka hijau menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan ‘heat island’ atau ‘pulau panas’, yaitu gejala meningkatnya suhu udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya.
Tingkat kebutuhan ruang terbuka hijau untuk suatu kawasan perkotaan bergantung pada suatu nilai indeks, yang merupakan fungsi regresi linier dari persentase luas penutupan ruang terbuka hijau terhadap penurunan suhu udara. Jika suhu udara yang  ditargetkan telah ditetapkan, maka melalui  indeks tersebut akan dapat diketahui luas penutupan ruang terbuka hijau minimum yang harus dipenuhi. Namun yang harus dicari terlebih dahulu adalah nilai dari indeks itu sendiri.
e. Pengendalian Thermoscape di Kawasan Perkotaan
   Keadaan panas suatu lansekap (thermoscpe) dapat dijadikan sebagai suatu model untuk perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau. Kondisi Thermoscape ini tergantung pada komposisi dari komponen-komponen penyusunnya. Komponen vegetasi merupakan komponen yang menunjukan struktur panas yang rendah, sedangkan bangunan, permukiman, paving, dan konstruksi bangunan lainnya merupakan komponen dengan struktur panas yang tinggi. Perimbangan antara  komponen-komponen dengan struktur panas rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan yang dirasakan oleh manusia. Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh manusia, maka komponen-komponen  dengan struktur panas yang rendah (vegetasi dalam ruang terbuka hijau) merupakan kunci utama pengendali kualitas thermoscape yang diharapkan. Keadaan struktur panas komponen-komponen dalam suatu keadaan thermoscape ini dapat diukur dengan mempergunakan kamera infra merah.
   Keadaan panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia merupakan indikator penting dalam menilai suatu struktur panas yang ada. Guna memperoleh keadaan yang ideal, maka diperlukan keadaan struktur panas yang dirasakan nyaman oleh manusia. Dengan demikian, terdapat suatu korelasi antara komponen-komponen penyusun struktur panas dalam suatu keadaan thermoscape tertentu, dan rasa panas oleh manusia. Secara umum dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan struktur panas rendah dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas yang lebih tinggi.
f. Pengendalian Bahaya-Bahaya Lingkungan
   Fungsi ruang terbuka hijau dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama difokuskan pada dua aspek penting : pencegahan bahaya kebakaran dan perlindungan dari keadaan darurat berupa gempa bumi.
Ruang terbuka hijau dengan komponen penyusun utamanya berupa vegetasi mampu mencegah menjalarnya luapan api kebakaran secara efektif, dikarenakan vegetasi mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya. Demikian juga dalam menghadapi resiko gempa bumi yang kuat dan mendadak, ruang terbuka hijau merupakan tempat yang aman dari bahaya runtuhan oleh struktur bangunan. Dengan demikian, ruang terbuka hijau perlu diadakan dan dibangun ditempat-tempat strategis di tengah-tengah lingkungan permukiman.
Pola Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Beberapa Kota Besar
   Pola pengembangan ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman penanganan yang disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup masyarakat, dan konsistensi kebijakan pemerintah. Berikut akan diuraikan beberapa kasus pengembangan ruang terbuka hijau kota sebagai bahan komparasi untuk memperoleh masukan yang komprehensif mengenai rumusan bentuk pengaturan yang akan dihasilkan.
a. Ruang Terbuka Hijau di Dalam Negeri
   Hampir semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%, termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang terbuka hijau (yang merupakan sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10% – 15%. Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku pembangunan  yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar lingkungan, mulai dari level komunitas  pekarangan hingga komunitas pada level kota.
            Di Surabaya, kebutuhan ruang terbuka hijau yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah sejak tahun 1992 adalah 20 – 30%. Sementara kondisi eksisting ruang terbuka hijau baru mencapai kurang dari 10% (termasuk ruang terbuka hijau pekarangan). Hasil studi yang dilakukan oleh Tim Studi dari Institut Teknologi 10 November Surabaya tentang  Peranan Sabuk Hijau Kota Raya tahun 1992/1993 menyebutkan bahwa luas RTH berupa taman, jalur hijau, makam, dan lapangan olahraga adalah + 418,39 Ha, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan RTH baru mencapai 1,67 m2/penduduk. Jumlah ruang terbuka hijau tersebut sangat tidak memadai jika perhitungan standar kebutuhan dilakukan dengan menggunakan hasil proyeksi Rencana Induk Surabaya 2000 saat itu yaitu 10,03 m2/penduduk.
            Di Yogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Pertamanan dan Kebersihan adalah 51.108 m2 atau hanya sekitar 5,11 Ha (1,6% dari luas kota), yang terdiri dari 62 taman, hutan kota, kebun raya, dan jalur hijau. Bila jumlah luas tersebut dikonversikan dalam angka rata-rata kebutuhan penduduk, maka setiap penduduk Yogyakarta hanya menikmati 0,1 m2 ruang terbuka hijau.
Dibandingkan dengan dua kota yang telah disebutkan di atas, barangkali pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau bagi penduduk di Kota Bandung masih lebih tinggi. Hingga tahun 1999, tiap penduduk Kota Bandung menikmati + 1,61 m2 ruang terbuka hijau. Angka ini merupakan kontribusi eksisting ruang terbuka hijau yang mencover Kota Bandung dengan porsi + 15% dari total distribusi pemanfaatan  lahan Kota.
b. Ruang Terbuka Hijau di Luar Negeri
   Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak,  dan taman-taman perumahan. Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu.
   Berikutnya pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat berdagang, berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance yang glamour dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan detail serta menarik. Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan kota Paris menjadi panutan dunia. Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka kota. Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia.
Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke hari  ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang dari 30%, Shirvani (1985), atau 1.200 m2 tajuk tanaman diperlukan untuk  satu orang, Grove (1983). Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota.
   Singapura, dengan luas 625 Km2 dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200 jiwa/ km2, diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69% dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24% atau 177 Km2 sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1.000 orang.
  Tokyo, melakukan perbaikan ruang terbuka hijau pada jalur hijau jalan, kawasan industri, hotel dan penutupan beberapa jalur jalan. Walaupun luas kota Tokyo sangat terbatas, namun Pemerintah kota tetap mengusahakan taman-taman tersebut, yang memiliki standar 0,21 ha per 1.000 orang. Sementara itu, pendekatan penyediaan ruang terbuka hijau yang dilakukan di Bombay – India, dapat pula dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki Ruang Terbuka Hijau di lingkungan permukiman padat.
Menurut Correa, (1988), dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa apabila  diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di dalam 4 (empat) unsur utama, yaitu :
   ·      Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi
   ·      Daerah untuk bergaul/ sosialisasi dengan tetangga
   ·      Daerah tempat pertemuan warga
   ·      Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat
   Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi ruang terbuka hijau dapat tercapai. Hal ini dikarenakan padatnya tingkat permukiman sehingga ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu yang sangat penting bahkan dibutuhkan. Jakarta dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, mencapai 8.000.000 jiwa, merupakan kenyataan. Oleh karenanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam menentukan besarnya Ruang Terbuka Hijau pada kawasan permukiman padat.
                                                 Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota-Kota Besar
No.
Kota
Populasi (juta jiwa)
RTH      (m2/jiwa)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Singapura
Baltimore
Chicago
San Fransisco
Washington DC
Muenchen
Amsterdam
Geneva
Paris
Stocholm
Kobe
Tokyo
2,70
0,93
3,37
0,66
0,76
1,27
0,81
0,17
2,60
1,33
1,40
11,80
7,0
27,0
8,80
32,20
45,70
17,60
29,40
15,10
8,40
80,10
8,10
2,10
             Sumber : Liu Thai Ker, 1994
 
   Hubungan antar makhluk hidup dengan lingkungannya sangat erat dan  saling ketergantungan, karena makhluk yang satu membutuhkan bantuan makhluk lain.Makhluk hidup membutuhkan lingkungan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya lingungan juga membutuhkan makhluk hidup dalam kelangsungan hidupnya.Ekosistem adalah kesatuan komunitas dengan lingkungannya yang membentuk hubungan timbal balik. Ekosistem tersusun atas dua komponen utama, yaitu komponen biotik dan komponen abiotik.Komponen biotik adalah komponen ekosistem yang hidup yang terdiri dari makhluk hidup yang meliputi tumbuhan, hewan dan manusia. Komponen abiotik adalah komponen ekosistem yang tak hidup yang meliputi tanah, air, udara, cahaya matahari, suhu atau temperature, mineral dan gas. Dalam sistem tata kota sudah seharusnya, ruang hijau terbuka menjadi salah satu perhitungan dalam setiap pembangunan yang ada sebagai penyeimbang ekosistem. Kepunahan salah satu mata rantai mampu membuat ketimpangan dalam kehidupan. Setidaknya gunakan 30% lahan kosong sebagai ruang hijau terbuka dalam penyelamatan  ekosistem bumi.
   Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga struktur dan fungsi dasara ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat pula rusk karenanya. Hal semacam itu akan merupakan beban sosial, karena pada akhirnya masyarakat dan pemerintahlah yang harus menanggung beban pemulihannya.Terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat merupakan tanggungjawab yang menuntut peran serta setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu, pembangunan yang bijaksana harus dilandasi wawasan lingkungan sebagai sarana untuk mencapai kesinambungan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang





Daftar Pustaka
Danisworo, M, 1998, Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan  di indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI.
Danoedjo,S. 1990., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota Dalam Rangka Melengkapi Standar Nasional Indonesia. Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Rustam Hakim, Thesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta, Institut Teknologi Bandung, 2000.
Rustam Hakim. 2000. Ruang Terbuka Hijau. http://rustam2000.wordpress.com/ruang-terbuka-hijau/feed/ (01-04-2013)
Mozaik sains. 2010. Komponen Ekosistem.

Post a Comment