Dalam sebuah pembangunan era global, sebuah ekosistem di
kesampingkan demi kemajuan negera atas pembangunan gedung-gedung pencakar
langit sebagai tempat usaha, perluasan jalan dan penambahan lahan kosong
sebagai tempat tinggal. Segala yang ada saat ini merupakan sebuah kenikmatan
dimana manusia sedang memerlukan sebuah materi ataupun beda yang benar-benar
bisa di jangkau dengan mudah tanpa adanya proses. Untuk mengembalikan semua hal
yang sudah diambil dari alam, manusia tidak bersabar untuk menunggunya sampai
kembali seperti semula dan hanya membiarkannya. Sudah sewajarnya, apabila
gangguan ini dibuat oleh manusia sendiri maka pemulihan keseimbangan sistem
lingkungan hidup harus pula diusahakan manusia. Walaupun, manusia tidak bisa
dipisahkan dari sebuah pembangunan dalam sebuah tuntutan mengamati perkembangan
dunia luar. Tanpa adanya ekosistem manusia juga tidak bisa hidup untuk mengurus
semua pembangunan yang dirancang. Sehingga timbul gangguan pada kesetimbangan
lingkungan hidup.
Sampai
saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya
ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Ruang terbuka menciptakan
karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik masyarakat yang terbentuk
adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualis-asosial. Agar efektif
sebagai mimbar, ruang publik haruslah netral. Tidak ada satu pun pihak yang
berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke ruang publik
sebagai sebuah mimbar politik. Stephen Carr dalam bukunya Public Space,
ruang publik harus bersifat responsif, demokratis, dan bermakna. Ruang
publik yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan
dan kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang publik
itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotak-kotakkan
akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya. Bahkan, unsur demokratis
dilekatkan sebagai salah satu watak ruang publik karena ia harus dapat
dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai kondisi fisiknya, termasuk
para penderita cacat tubuh maupun lansia.
Ruang-ruang
terbuka ditinjau dari bentuk fisiknya dapat rupa Ruang Terbuka Hijau
dan/atau Ruang Terbuka Binaan (Publik atau Privat). Kebijaksanaan pertanahan di
perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap
kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi
“hidro-orologis”, nilai estetika. Ruang terbuka hijau dengan komponen penyusun
utamanya berupa vegetasi mampu mencegah menjalarnya luapan api kebakaran secara
efektif, dikarenakan vegetasi mengandung air yang menghambat sulutan api dari
sekitarnya.
Pengertian dan Komponen Ekosistem adalah Ekosistem dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik atau interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Selain itu ekosistem merupakan tingkatan organisasi kehidupan yang mencakup organisme dan lingkungan tak hidup, dimana kedua komponen tersebut saling mempengaruhi dan berinteraksi. Komponen penyusun ekosistem terdiri atas dua macam, yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik adalah komponen yang terdiri atas makhluk hidup, sedangkan komponen abiotik adalah komponen yang terdiri atas benda mati. Seluruh komponen biotik dalam suatu ekosistem membentuk komunitas. Dengan demikian, ekosistem dapat diartikan sebagai kesatuan antara komunitas dengan lingkungan abiotiknya.
Pengertian dan Komponen Ekosistem adalah Ekosistem dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik atau interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Selain itu ekosistem merupakan tingkatan organisasi kehidupan yang mencakup organisme dan lingkungan tak hidup, dimana kedua komponen tersebut saling mempengaruhi dan berinteraksi. Komponen penyusun ekosistem terdiri atas dua macam, yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik adalah komponen yang terdiri atas makhluk hidup, sedangkan komponen abiotik adalah komponen yang terdiri atas benda mati. Seluruh komponen biotik dalam suatu ekosistem membentuk komunitas. Dengan demikian, ekosistem dapat diartikan sebagai kesatuan antara komunitas dengan lingkungan abiotiknya.
Pengertian
Ruang Terbuka Hijau adalah ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh
masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak
langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa
berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan
sebagainya (Hakim dan Utomo, 2004).
Ruang
Terbuka Hijau kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu
wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi guna
mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam
kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah
perkotaan tersebut (Dep. Pekerjaan Umum, 2008).
Perhitungan
kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau
tersebut merupakan komponen alam, yang berperan menjaga keberlanjutan proses di
dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang terbuka hijau dipandang memiliki daya
dukung terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang
terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%. Ruang
terbuka hijau berguna bagi kehidupan manusia dalam peningkatan kadar oksigen
bumi dan keberlangsungan hewan-hewan yang hidup di perkotaan karena lahan yang
seharusnya menjadi ruang terbuka hijau dijadikan gedung pencakar langit tanpa
adanya ruang penyeimbang. Permasalahan yang terjadi tanpa adanya ruang terbuka
hijau berpengaruh terhadap komponen ekosistem yaitu komponen abiotik dan
biotik.
Komponen Abiotik
Berdasarkan
caranya memperoleh makanan di dalam ekosistem, organisme anggota komponen
biotik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Produsen, yang berarti penghasil.
Produsen merupakan organisme yang mampu menghasilkan zat makanan sendiri (autotrof) melalui fotosintesis. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah tumbuhan hijau. Dalam penataan ruang terbuka hijau, akan banyak tumbuhan hijau sebagai makanan dari organisme yang tidak menghasilkan makanan (heterotrof) berarti kelangsungan konsumen I dapat di terselamatkan apabila produsen masih tetap ada.
Produsen merupakan organisme yang mampu menghasilkan zat makanan sendiri (autotrof) melalui fotosintesis. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah tumbuhan hijau. Dalam penataan ruang terbuka hijau, akan banyak tumbuhan hijau sebagai makanan dari organisme yang tidak menghasilkan makanan (heterotrof) berarti kelangsungan konsumen I dapat di terselamatkan apabila produsen masih tetap ada.
b. Konsumen, yang berarti pemakai, yaitu organisme yang tidak dapat menghasilkan
zat makanan sendiri tetapi menggunakan zat makanan yang dibuat oleh organisme
lain.
Organisme yang secara langsung mengambil zat makanan dari tumbuhan hijau adalah herbivora. Oleh karena itu, herbivora sering disebut konsumen tingkat pertama. Karnivora yang mendapatkann makanan dengan memangsa herbivora disebut konsumen tingkat kedua. Karnivora yang memangsa konsumen tingkat kedua disebut konsumen tingkat ketiga dan seterusnya. Proses makan dan dimakan di dalam ekosistem akan membentuk rantai makanan.
Perhatikan contoh sebuah rantai makanan ini: daun berwarna hijau (Produsen) –> ulat (Konsumen I) –> ayam (Konsumen II) –> musang (Konsumen III) –> macan (Konsumen IV/Puncak).
Organisme yang secara langsung mengambil zat makanan dari tumbuhan hijau adalah herbivora. Oleh karena itu, herbivora sering disebut konsumen tingkat pertama. Karnivora yang mendapatkann makanan dengan memangsa herbivora disebut konsumen tingkat kedua. Karnivora yang memangsa konsumen tingkat kedua disebut konsumen tingkat ketiga dan seterusnya. Proses makan dan dimakan di dalam ekosistem akan membentuk rantai makanan.
Perhatikan contoh sebuah rantai makanan ini: daun berwarna hijau (Produsen) –> ulat (Konsumen I) –> ayam (Konsumen II) –> musang (Konsumen III) –> macan (Konsumen IV/Puncak).
Dalam
ekosistem, sebuah rantai makanan akan terus berjalan selama para pelaku rantai
makanan masih tetap ada, apabila salah satu populasi dari mereka tidak ada maka
keseimbangan ekosistem terancam, seperti, tanpa adanya elang maka tikus akan
bergerilya merusak padi, bayangkan bila elang musnah ataupun spesies sejenisnya
musnah maka kerusakan padi akan meningkat.
c. Dekomposer atau pengurai.
Dekomposer adalah jasad renik yang berperan menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme yang telah mati ataupun hasil pembuangan sisa pencernaan. Dengan adanya tanah maka organisme pengurai mampu mengurai jazad renik untuk di teruskan kepada tumbuhan dalam gas karbon dioksida untuk proses fotosintesis, apabila tanah sudah habis dipakai dalam pembangunan maka jazad renik yang ada tidak akan menyerap, tidak akan terbagi kepada tumbuhan dan produsen pertama akan musnah.
Komponen abiotik merupakan komponen tak hidup dalam suatu ekosistem. Komponen abiotik sangat menentukan jenis makhluk hidup yang menghuni suatu lingkungan. Komponen abiotik banyak ragamnya, antara lain:
Dekomposer adalah jasad renik yang berperan menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme yang telah mati ataupun hasil pembuangan sisa pencernaan. Dengan adanya tanah maka organisme pengurai mampu mengurai jazad renik untuk di teruskan kepada tumbuhan dalam gas karbon dioksida untuk proses fotosintesis, apabila tanah sudah habis dipakai dalam pembangunan maka jazad renik yang ada tidak akan menyerap, tidak akan terbagi kepada tumbuhan dan produsen pertama akan musnah.
Komponen abiotik merupakan komponen tak hidup dalam suatu ekosistem. Komponen abiotik sangat menentukan jenis makhluk hidup yang menghuni suatu lingkungan. Komponen abiotik banyak ragamnya, antara lain:
a. Suhu
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu dan kini dikarenakan adanya pemanasan global, maka tidak dipungkiri beberapa spesies tumbuhan mati karena tidak mampu beradaptasi. Ruang terbuka hijau sudah seharusnya di tempatkan dengan tumbuhan yang mampu menyeimbangkan panas bumi dengan gas O2.
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu dan kini dikarenakan adanya pemanasan global, maka tidak dipungkiri beberapa spesies tumbuhan mati karena tidak mampu beradaptasi. Ruang terbuka hijau sudah seharusnya di tempatkan dengan tumbuhan yang mampu menyeimbangkan panas bumi dengan gas O2.
b.Sinar matahari
Sinar
matahari mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari menentukan suhu.
Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai
produsen untuk berfotosintesis. Sinar matahari yang masuk diserap oleh tumbuhan
untuk membantu fotosintesis, apabila sinar matahari yang masuk terhalang oleh
gedung pencakar langit maka yang ada hanya pantulan dari benda dan permukaan di
dalam rumah kaca yaitu berupa sinar inframerah dan tertahan atap kaca yang
mengakibatkan udara di dalam rumah kaca menjadi hangat walaupun udara di luar
dingin. Efek memanaskan itulah yang disebut efek rumah kaca atau ”green house effect”.
Gas-gas yang berfungsi bagaikan pada rumah kaca disebut gas rumah kaca atau ”green house gases”.
c. Air
Air berpengaruh terhadap ekosistem karena air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme. Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan, perkecambahan, dan penyebaran biji; bagi hewan dan manusia. Bagi unsur abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air diperlukan sebagai pelarut dan pelapuk. Tanpa ada aliran air yang berfungsi dalam sebuah fotosintesis dikarenakan tersendat masuk dari lapisan tanah yang disemen. Penampungan air dalam ruang hijau terbuka terdengar bagus sebagai penyerap air hujan dalam sebuah sistem tatakota.
Air berpengaruh terhadap ekosistem karena air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme. Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan, perkecambahan, dan penyebaran biji; bagi hewan dan manusia. Bagi unsur abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air diperlukan sebagai pelarut dan pelapuk. Tanpa ada aliran air yang berfungsi dalam sebuah fotosintesis dikarenakan tersendat masuk dari lapisan tanah yang disemen. Penampungan air dalam ruang hijau terbuka terdengar bagus sebagai penyerap air hujan dalam sebuah sistem tatakota.
d. Tanah
Tanah
merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan
organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan
unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan. Tanah yang
disemen tak hayal menjadi permasalahan dalam ekosistem, daya serap, pertumbuhan
menjadi rusak. Sewajarnya, disisakan dari setiap wilayah 30% sebagai ruang
terbuka hijau.
e. Angin
Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu namun akibat semakin menjamurnya bangunan tinggi mengakibatkan konsentrasi angin hanya ke titik-titik tertentu.
Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu namun akibat semakin menjamurnya bangunan tinggi mengakibatkan konsentrasi angin hanya ke titik-titik tertentu.
Ruang
Terbuka Hijau (Green
Openspaces) terdiri dari Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) Dan Ruang
Terbuka Hijau Binaan (RTH Binaan).
· Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah
ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur
atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, di
dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya. Kawasan
hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung,
hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau, dsbnya.
·
Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah
ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur
atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan
permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.
Kawasan/ruang hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan
antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru
kota, peresapan air, pencegahan polusi udara dan perlindungan terhadap
flora
Pendekatan Kebutuhan
Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Fungsinya
Pendekatan
ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh ruang
terbuka hijau terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan, atau
dalam upaya mempertahankan kualitas yang baik.
a. Daya Dukung Ekosistem
Perhitungan
kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau
tersebut merupakan komponen alam, yang berperan menjaga keberlanjutan proses di
dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang terbuka hijau dipandang memiliki daya
dukung terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang
terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%.
b.Pengendalian Gas Berbahaya dari Kendaraan Bermotor
Gas-gas
yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan bersifat
menurunkan kesehatan manusia (dan makhluk hidup lainnya), tertama yang
berbahaya sekali adalah dari golongan Nox, CO, dan SO2. Diharapkan ruang
terbuka hijau mampu mengendalikan keganasan gas-gas berbahaya tersebut,
meskipun ruang terbuka hijau sendiri dapat menjadi sasaran kerusakan oleh gas
tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan adalah mengadakan dan
mengatur susunan ruang terbuka hijau dengan komponen vegetasi di dalamnya yang
mampu menjerat maupun menyerap gas-gas berbahaya. Penelitian yang telah
dilakukan di Indonesia (oleh Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan keragaman
kemampuan berbagai jenis pohon dan tanaman merambat dalam kaitannya dengan
kemampuan untuk menjerat dan menyerap gas-gas berbahaya tersebut. Perkiraan
kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini tergantung pada jenis
dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya.
Sifat
dari vegetasi di dalam ruang terbuka hijau yang diunggulkan adalah kemampuannya
melakukan aktifitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme di dalam
vegetasi dengan menyerap gas CO2, lalu membentuk gas oksigen. CO2 adalah jenis
gas buangan kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya, sedangkan gas oksigen
adalah gas yang diperlukan bagi kegiatan pernafasan manusia. Dengan demikian ruang
terbuka hijau selain mampu mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor,
sekaligus menambah suplai oksigen yang diperlukan manusia. Besarnya kebutuhan
ruang terbuka hijau dalam mengendalikan gas karbon dioksida ini ditentukan
berdasarkan target minimal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi gas karbon
dioksida dari sejumlah kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di kawasan
perkotaan tertentu.
c.Pengamanan Lingkungan Hidrologis
Kemampuan
vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat dijadikan alasan akan kebutuhan
keberadaan ruang terbuka hijau tersebut. Dengan sistem perakaran yang baik,
akan lebih menjamin kemampuan vegetasi mempertahankan keberadaan air tanah.
Dengan semakin meningkatnya areal penutupan oleh bangunan dan perkerasan, akan
mempersempit keberadaan dan ruang gerak sistem perakaran yang diharapkan,
sehingga berakibat pada semakin terbatasnya ketersediaan air tanah.
Dengan
semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan ketersediaan air
tanah, maka secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya peristiwa
intrusi air laut ke dalam sistem hidrologis yang ada, yang dapat menyebabkan
kerugian berupa penurunan kualitas air minum dan terjadinya korosi/ penggaraman
pada benda-benda tertentu.
d.Pengendalian Suhu Udara Perkotaan
Dengan
kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka vegetasi dalam ruang
terbuka hijau dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan. Dalam skala yang
lebih luas lagi, ruang terbuka hijau menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi
permasalahan ‘heat island’ atau ‘pulau panas’, yaitu gejala meningkatnya suhu
udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya.
Tingkat
kebutuhan ruang terbuka hijau untuk suatu kawasan perkotaan bergantung pada
suatu nilai indeks, yang merupakan fungsi regresi linier dari persentase luas
penutupan ruang terbuka hijau terhadap penurunan suhu udara. Jika suhu udara
yang ditargetkan telah ditetapkan, maka melalui indeks tersebut
akan dapat diketahui luas penutupan ruang terbuka hijau minimum yang harus
dipenuhi. Namun yang harus dicari terlebih dahulu adalah nilai dari indeks itu
sendiri.
e. Pengendalian Thermoscape di Kawasan Perkotaan
Keadaan
panas suatu lansekap (thermoscpe) dapat dijadikan sebagai suatu model untuk
perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau. Kondisi Thermoscape ini tergantung
pada komposisi dari komponen-komponen penyusunnya. Komponen vegetasi merupakan
komponen yang menunjukan struktur panas yang rendah, sedangkan bangunan,
permukiman, paving, dan konstruksi bangunan lainnya merupakan komponen dengan
struktur panas yang tinggi. Perimbangan antara komponen-komponen dengan
struktur panas rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan
yang dirasakan oleh manusia. Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh
manusia, maka komponen-komponen dengan struktur panas yang rendah
(vegetasi dalam ruang terbuka hijau) merupakan kunci utama pengendali kualitas
thermoscape yang diharapkan. Keadaan struktur panas komponen-komponen dalam
suatu keadaan thermoscape ini dapat diukur dengan mempergunakan kamera infra
merah.
Keadaan
panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia merupakan indikator
penting dalam menilai suatu struktur panas yang ada. Guna memperoleh keadaan
yang ideal, maka diperlukan keadaan struktur panas yang dirasakan nyaman oleh
manusia. Dengan demikian, terdapat suatu korelasi antara komponen-komponen
penyusun struktur panas dalam suatu keadaan thermoscape tertentu, dan rasa
panas oleh manusia. Secara umum dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan
struktur panas rendah dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas
yang lebih tinggi.
f. Pengendalian Bahaya-Bahaya Lingkungan
Fungsi
ruang terbuka hijau dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama difokuskan
pada dua aspek penting : pencegahan bahaya kebakaran dan perlindungan dari
keadaan darurat berupa gempa bumi.
Ruang
terbuka hijau dengan komponen penyusun utamanya berupa vegetasi mampu mencegah
menjalarnya luapan api kebakaran secara efektif, dikarenakan vegetasi
mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya. Demikian juga dalam
menghadapi resiko gempa bumi yang kuat dan mendadak, ruang terbuka hijau
merupakan tempat yang aman dari bahaya runtuhan oleh struktur bangunan. Dengan
demikian, ruang terbuka hijau perlu diadakan dan dibangun ditempat-tempat
strategis di tengah-tengah lingkungan permukiman.
Pola Pengembangan
Ruang Terbuka Hijau di Beberapa Kota Besar
Pola
pengembangan ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman penanganan
yang disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup masyarakat, dan
konsistensi kebijakan pemerintah. Berikut akan diuraikan beberapa kasus
pengembangan ruang terbuka hijau kota sebagai bahan komparasi untuk memperoleh
masukan yang komprehensif mengenai rumusan bentuk pengaturan yang akan
dihasilkan.
a. Ruang Terbuka Hijau di Dalam Negeri
Hampir
semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk rencana
umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan bahwa kebutuhan ruang
terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%, termasuk di dalamnya bagi
kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain.
Ini berarti keberadaan ruang terbuka hijau (yang merupakan sub komponen ruang
terbuka) hanya berkisar antara 10% – 15%. Kenyataan ini sangat dilematis bagi
kehidupan kota yang cenderung berkembang sementara kualitas lingkungan
mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin memprihatinkan. Ruang terbuka
hijau yang notabene diakui merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery
fungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku
pembangunan yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar lingkungan, mulai
dari level komunitas pekarangan hingga komunitas pada level kota.
Di Surabaya, kebutuhan ruang terbuka hijau yang dicanangkan oleh Pemerintah
Daerah sejak tahun 1992 adalah 20 – 30%. Sementara kondisi eksisting ruang
terbuka hijau baru mencapai kurang dari 10% (termasuk ruang terbuka hijau
pekarangan). Hasil studi yang dilakukan oleh Tim Studi dari Institut Teknologi
10 November Surabaya tentang Peranan Sabuk Hijau Kota Raya tahun
1992/1993 menyebutkan bahwa luas RTH berupa taman, jalur hijau, makam, dan lapangan
olahraga adalah + 418,39 Ha, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan RTH baru
mencapai 1,67 m2/penduduk. Jumlah ruang terbuka hijau tersebut sangat tidak
memadai jika perhitungan standar kebutuhan dilakukan dengan menggunakan hasil
proyeksi Rencana Induk Surabaya 2000 saat itu yaitu 10,03 m2/penduduk.
Di Yogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil inventarisasi
Dinas Pertamanan dan Kebersihan adalah 51.108 m2 atau hanya sekitar 5,11 Ha
(1,6% dari luas kota), yang terdiri dari 62 taman, hutan kota, kebun raya, dan
jalur hijau. Bila jumlah luas tersebut dikonversikan dalam angka rata-rata
kebutuhan penduduk, maka setiap penduduk Yogyakarta hanya menikmati 0,1 m2
ruang terbuka hijau.
Dibandingkan
dengan dua kota yang telah disebutkan di atas, barangkali pemenuhan kebutuhan
ruang terbuka hijau bagi penduduk di Kota Bandung masih lebih tinggi. Hingga
tahun 1999, tiap penduduk Kota Bandung menikmati + 1,61 m2 ruang terbuka hijau.
Angka ini merupakan kontribusi eksisting ruang terbuka hijau yang mencover Kota
Bandung dengan porsi + 15% dari total distribusi pemanfaatan lahan Kota.
b. Ruang Terbuka Hijau di Luar Negeri
Kesadaran
pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah
berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau
ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan
lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman
tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak,
dan taman-taman perumahan. Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan
Agora, Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya
dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu.
Berikutnya
pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat berdagang,
berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance yang glamour
dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan detail serta menarik. Seni
berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan
kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan kota Paris menjadi panutan dunia.
Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala
besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka
kota. Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux
melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia.
Melihat
kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya
mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di
suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke hari
ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan
bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang dari 30%, Shirvani (1985), atau
1.200 m2 tajuk tanaman diperlukan untuk satu orang, Grove (1983).
Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan
beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota
dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota.
Singapura,
dengan luas 625 Km2 dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200
jiwa/ km2, diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69% dari luas kota
secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24% atau 177 Km2 sebagai ruang
terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1.000 orang.
Tokyo, melakukan perbaikan ruang terbuka hijau pada jalur hijau jalan, kawasan
industri, hotel dan penutupan beberapa jalur jalan. Walaupun luas kota Tokyo
sangat terbatas, namun Pemerintah kota tetap mengusahakan taman-taman tersebut,
yang memiliki standar 0,21 ha per 1.000 orang. Sementara itu, pendekatan
penyediaan ruang terbuka hijau yang dilakukan di Bombay – India, dapat pula
dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki Ruang Terbuka Hijau di
lingkungan permukiman padat.
Menurut
Correa, (1988), dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa apabila
diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di dalam 4
(empat) unsur utama, yaitu :
· Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi
· Daerah untuk bergaul/ sosialisasi dengan tetangga
·
Daerah tempat pertemuan warga
·
Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga
masyarakat
Penelitian
ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi ruang terbuka
hijau dapat tercapai. Hal ini dikarenakan padatnya tingkat permukiman sehingga
ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu yang sangat
penting bahkan dibutuhkan. Jakarta dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup
tinggi, mencapai 8.000.000 jiwa, merupakan kenyataan. Oleh karenanya penelitian
ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam menentukan besarnya Ruang
Terbuka Hijau pada kawasan permukiman padat.
Kondisi
Ruang Terbuka Hijau Kota-Kota Besar
No.
|
Kota
|
Populasi (juta jiwa)
|
RTH (m2/jiwa)
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
|
Singapura
Baltimore
Chicago
San Fransisco
Washington DC
Muenchen
Amsterdam
Geneva
Paris
Stocholm
Kobe
Tokyo
|
2,70
0,93
3,37
0,66
0,76
1,27
0,81
0,17
2,60
1,33
1,40
11,80
|
7,0
27,0
8,80
32,20
45,70
17,60
29,40
15,10
8,40
80,10
8,10
2,10
|
Sumber : Liu Thai
Ker, 1994
Hubungan
antar makhluk hidup dengan lingkungannya sangat erat dan saling
ketergantungan, karena makhluk yang satu membutuhkan bantuan makhluk lain.Makhluk
hidup membutuhkan lingkungan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebaliknya lingungan juga membutuhkan makhluk hidup dalam kelangsungan hidupnya.Ekosistem
adalah kesatuan komunitas dengan lingkungannya yang membentuk hubungan timbal
balik. Ekosistem tersusun atas dua komponen utama, yaitu komponen biotik dan
komponen abiotik.Komponen biotik adalah komponen ekosistem yang hidup yang
terdiri dari makhluk hidup yang meliputi tumbuhan, hewan dan manusia. Komponen
abiotik adalah komponen ekosistem yang tak hidup yang meliputi tanah, air,
udara, cahaya matahari, suhu atau temperature, mineral dan gas. Dalam sistem
tata kota sudah seharusnya, ruang hijau terbuka menjadi salah satu perhitungan
dalam setiap pembangunan yang ada sebagai penyeimbang ekosistem. Kepunahan
salah satu mata rantai mampu membuat ketimpangan dalam kehidupan. Setidaknya
gunakan 30% lahan kosong sebagai ruang hijau terbuka dalam penyelamatan
ekosistem bumi.
Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga struktur dan fungsi dasara ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat pula rusk karenanya. Hal semacam itu akan merupakan beban sosial, karena pada akhirnya masyarakat dan pemerintahlah yang harus menanggung beban pemulihannya.Terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat merupakan tanggungjawab yang menuntut peran serta setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu, pembangunan yang bijaksana harus dilandasi wawasan lingkungan sebagai sarana untuk mencapai kesinambungan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang
Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga struktur dan fungsi dasara ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat pula rusk karenanya. Hal semacam itu akan merupakan beban sosial, karena pada akhirnya masyarakat dan pemerintahlah yang harus menanggung beban pemulihannya.Terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat merupakan tanggungjawab yang menuntut peran serta setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu, pembangunan yang bijaksana harus dilandasi wawasan lingkungan sebagai sarana untuk mencapai kesinambungan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang
Daftar
Pustaka
Danisworo,
M, 1998, Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan
di indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI.
Danoedjo,S.
1990., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota Dalam Rangka
Melengkapi Standar Nasional Indonesia. Direktur Jenderal Cipta Karya,
Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Rustam
Hakim, Thesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI
Jakarta, Institut Teknologi Bandung, 2000.
Rustam
Hakim. 2000. Ruang Terbuka Hijau. http://rustam2000.wordpress.com/ruang-terbuka-hijau/feed/
(01-04-2013)
Mozaik
sains. 2010. Komponen Ekosistem.
Post a Comment